Tuesday, February 24, 2009
Home »
Isu Semasa
» SOAL HATI : ISU SEMASA YANG SERING DIABAIKAN
SOAL HATI : ISU SEMASA YANG SERING DIABAIKAN
alam kehidupan ini, kita seringkali didogmakan dengan isu yang berkaitan dengan ekonomi, politik, sosial, alam sekitar, kepimpinan, dan sebagainya. Namun sering kita terlupa bahawa sebenarnya isu-isu yang disebut di atas adalah berpunca dari isu kemanusiaan dan keinsanan manusia itu sendiri. Ringkasnya, ia adalah soal dalaman dalam diri manusia itu sendiri. Kerana itu Allah SWT dalam firmanNya ada menyebut :
Terjemahan : (Surah Ar-Ra'd [13:11]
Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sesuatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki untuk menimpakan kepada sesuatu kaum bala bencana (disebabkan kesalahan mereka sendiri), maka tiada sesiapapun yang dapat menolak atau menahan apa yang ditetapkanNya itu dan tidak ada sesiapapun yang dapat menolong dan melindungi mereka selain daripadaNya
Di dalam hendak mengubah nasib kaum, ayat tersebut sebenarnya mahukan kita mengubah apa yang ada dalam diri kita. Iaitu kalau kita tidak beriman, ubah supaya kita jadi beriman. Kalau kita tidak taat kepada agama, ubah supaya kita jadi taat dengan ajaran dan hukum-hakam agama. Kalau kita tidak takutkan Allah, ubah supaya kita jadi bertaqwa. Kalau kita banyak sifat-sifat keji dan mazmumah dalam hati, maka kenalah kita bermujahadah dan memperbaiki diri dan memenuhkan hati kita dengan segala sifat-sifat mahmudah dan terpuji. Kalau fitrah kita kotor dan tercemar hendaklah kita bersihkannya supaya ia kembali kepada keadaan asal semula jadinya yang bersih dan suci murni. Pokoknya kita kena bina insan kita. Kita kena bina akal, hati dan nafsu kita seperti mana yang diajarkan oleh agama.
Selepas segala itu kita lakukan maka Allah akan tunjukkan jalan dan akan datangkan bantuan dan akan memperbaiki nasib kita. Apa sahaja yang kita buat selepas itu semuanya akan tepat, berkesan dan dibantu Allah. Allah ada berjanji:
"Dan Allah itu pembela bagi orang-orang yang bertaqwa."
Selagi kita tidak mengubah apa yang ada dalam diri kita, selagi kita abaikan agama, selagi kita abaikan proses membaiki diri, kita abaikan Tuhan dan kita tidak mahu kembali dan merujuk kepada Tuhan, selagi itulah kita akan tersasar. Kita akan bertambah rosak dan bertambah rosak hingga kaum dan bangsa kita akan hancur-lebur dengan sendirinya tanpa perlu diganggu-gugat oleh musuh seperti mana yang kita lihat sedang berlaku sekarang ini. Ukhwah hilang, kasih sayang rosak, perpaduan runtuh, amanah sudah tidak ada, masing-masing tidak boleh dipercayai, rasuah, berkepentingan diri, nepotisme, runtuh moral, runtuh akhlak dan berbagai-bagai lagi.
Pendek kata, krisis paling parah yang terjadi di seluruh penjuru bumi adalah krisis moral dan akhlak, yang mengakibatkan munculnya berbagai penyakit batin dalam diri manusia. Sejalan dengan melemahnya iman umat Islam maka penyakit batin tersebut makin bermaharajalela di tengah masyarakat, membuat manusia hilang kasih sayang, saling caci maki, tuduh menuduh, hujah menghujah dan saling menghina. Masyarakat hidup bersama tapi tidak ada kebersamaan. Dosa-dosa lahir dan batin, berbagai macam maksiat dan kejahatan telah mencapai puncaknya.
Masing-masing hidup dalam rasa tidak puas. Orang miskin tidak redha dengan kemiskinannya, rakyat tidak puas dengan pemimpinnya, murid tidak senang dengan pendidiknya dan sebagainya berlaku setiap hari dalam kehidupan kita. Masing-masing saling menyalahkan namun jalan keluar yang diberikan hanya menyentuh lahiriah saja. Maka alangkah baiknya bila kita menilik diri dan hati kita masing-masing. Segala perbaikan berawal dari diri kita. Tidak mungkin kita mengharapkan orang lain baik, kalau kita sendiri tidak berusaha untuk memperbaiki diri.
Oleh itu mari kita sama-sama merenung ke dalam hati kita sendiri dan menjawab dengan sejujur-jujurnya kepada QUIZ ISU SEMASA di bawah ini :
1. Ketika kita solat, secara lahir kita berdiri, rukuk dan sujud dengan mulut memuji dan berdoa pada Allah, tetapi kemanakah hati kita (ingatan dan fikiran)?
Apakah juga menghadap Allah, khusyuk dan tawadhuk serta rasa rendah dan hina diri dengan penuh pengabdian dan harapan serta malu dan takut kepada Allah SWT? Ataukah hati terbang menerawang ke mana-mana, tidak menghiraukan Allah Yang Maha Perkasa yang sedang disembah?
Begitu juga ketika sedang membaca Al Quran, bertahlil, zikir dan wirid, berselawat dan bertakbir, bertasbih dan bertahmid. Adakah roh kita turut menghayatinya? Atau waktu itu roh sedang merasakan satu perasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amalan lahir yang sedang dilakukan?
2. Pernahkah kita merasa indah bila sendirian di tempat sunyi kerana mengingat Allah dan menumpukan perhatian sepenuhnya pada-Nya, merasa rendah dan hina diri, menyesali dosa dan kelalaian, mengingati-Nya sambil berniat dengan sungguh-sungguh untuk memperbanyak amal bakti pada-Nya?
3. Kalau ada orang Islam yang sakit menderita atau miskin, adakah hati kita merasa belas kasihan untuk membantu atau menolong mendoakan dari jauh agar dia selamat?
4. Pernahkah pula kita menghitung dosa-dosa lahir dan batin sambil menangis kerana istighfar kita terlalu sedikit dibandingkan dengan dosa kita yang menyebabkan kita nanti jadi bahan bakar api neraka?
5. Selalukah hati kita sentiasa ingat pada mati yang boleh saja mendatangi kita sebentar lagi, keranaa memang Tuhan dapat berbuat begitu. Kalau pun kita belum dimatikan, ertinya Tuhan menginginkan kita mencuba lagi untuk mencari jalan mendekatkan diri pada-Nya?
6. Pernahkah kita menghitung berapa banyak harta kita, wang kita, rumah kita, kenderaan kita, perabot kita, pakaian kita, sepatu kita, makanan kita dan simpanan kita yang lebih dari keperluan kita walaupun diperoleh dengan cara yang halal? Semua itu akan diperkirakan, dihisab dan ditanya, dicerca dan dihina oleh Allah di padang mahsyar nanti kerana kita membesarkan dunia dan mengecilkan akhirat.
7. Pernahkah kita renungkan orang-orang yang pernah kita perlakukan secara kasar, kita umpat, kita tipu, kita fitnah, kita hina dan kita aniaya. Baik mereka itu adalah suami kita, isteri kita, ibu bapa kita, kaum keluarga kita, sahabat kita, tetangga kita atau siapa saja. Sudahkah kita meminta maaf dan membersihkan dosa dengan manusia di dunia tanpa menunggu tibanya hari yang dahsyat (hari kiamat)?
8. Apabila Allah memberikan rasa sakit pada kita atau pada orang lain yang kita kasihi (apa pun jenis penyakit itu), dapatkah kita tenangkan hati dengan rasa kesabaran dan kesadaran bahwa sakit adalah kifarah (pengampunan) dosa atau sebagai peningkatan darjat dan pangkat di sisi Allah SWT?
9. Ketika menerima takdir atau rezeki yang tidak sesuai dengan kehendak kita, dapatkah kita merasa redha, karena itulah satu pemberian Allah yang sesuai untuk kita?
10. Di saat sesuatu yang kita inginkan dan cita-citakan tidak kita peroleh, dapatkah kita tenangkan perasaan kita dengan rasa insaf akan kelemahan dan kekurangan diri sebagai hamba Allah yang hina dina, yang menggantungkan hidup mati dan rezeki sepenuhnya pada Allah?
11. Di waktu mendapat nikmat, terasakah di hati bahwa itu adalah sebagai pemberian Allah lalu timbul rasa terima kasih (syukur) pada Allah dan rasa takut kalau-kalau nikmat itu tidak dapat digunakan kerana Allah dan berniat sungguh-sungguh untuk menggunakan nikmat itu hanya untuk Allah?
12. Kalau kita miskin dapatkah kita merasa bahagia dengan kemiskinan itu dan merasa lega karena tidak perlu lagi mengurus nikmat Allah? Adakah kita merasa bahwa kemiskinan itu menyebabkan kita tidak perlu lagi mengadu dan meminta pada manusia kecuali pada Allah?
13. Kalau ada orang mencerca kita bolehkah hati kita merasa senang dan tenang lalu kita bersikap diam tanpa sakit, susah hati dan dendam. Bahkan kita memaafkan orang itu sambil mendoakan kebaikan untuknya sebab kita merasa bahwa ia telah memberi pahala pada kita melalui cercaannya itu?
Imam As Syafie berpuisi:
"Apabila seorang yang jahat mencerca aku, bertambah tinggilah kehormatanku. Tidak ada yang lebih hina kecuali kalau aku yang mencercanya."
14. Begitu juga kalau orang menipu, menganiaya dan mencuri harta kita, mampukah kita relakan saja atas dasar kita ingin mendapat pahala kerana menanggung kerugian itu?
15. Di waktu kita merasa bersalah dengan seseorang, apakah datang rasa takut akan kemurkaan Allah pada kita dan sanggupkah kita minta maaf sambil mengakui kesalahan kita?
16. Setelah kita melakukan usaha dan ikhtiar dengan kerja-kerja kita, apakah kita dapat melupakan usaha kita itu dan menyerahkannya kepada Allah? Ataukah kita merasa besar dan terikat dengan usaha itu hingga kita merasa senang dan tenang dengan usaha itu?
17. Kalau orang lain mendapat kesenangan dan kejayaan dapatkah kita merasa gembira, turut bersyukur dan mengharapkan kekalnya nikmat itu bersamanya tanpa hasad dengki dan sakit hati?
18. Setiap kali orang bersalah, lahirkah rasa kasihan kita padanya, di samping ingin membetulkannya tanpa menghina dan mengumpatnya?
19. Kalau ada orang memuji kita, adakah kita merasa susah hati sebab pujian itu dapat merosakkan amalan kita? Dapatkah kita bendung hati dari rasa bangga dan sombong, kemudian mengembalikan pujian pada Allah yang patut menerima pujian dan yang mengurniakan kemuliaan itu?
20. Bolehkah kita menunjukkan rasa kasih sayang dan ramah tamah dengan semua orang sekalipun kepada orang bawahan kita?
21. Selamatkah kita dari jahat (buruk) sangka dan prasangka pada orang lain?
22. Kalau kita diturunkan dari jawatan atau kekayaan kita hilang, selamatkah kita dari rasa kecewa dan putus asa keranaa merasakan pemberian jawatan dan penurunannya adalah ketentuan Allah? Sebab itu kita merasa redha.
23. Sanggupkah kita bertenggang rasa dengan orang lain di waktu orang itu juga memerlukan apa yang kita perlukan?
24. Apakah kita sentiasa puas dan cukup dengan apa yang ada tanpa mengharapkan apa yang tidak ada?
0 comments:
Post a Comment